Monday, October 18, 2010

Apa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah
Itsna Asyariyah ?

Banyak orang yang menyangka bahwa perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) dianggap sekedar dalam masalah khilafiyah Furu’iyah, seperti perbedaan antara NU dengan Muhammadiyah, antara Madzhab Safi’i dengan Madzhab Maliki.
Karenanya dengan adanya ribut-ribut masalah Sunni dengan Syiah, mereka berpendapat agar perbedaan pendapat tersebut tidak perlu dibesar-besarkan. Selanjutnya mereka berharap, apabila antara NU dengan Muhammadiyah sekarang bisa diadakan pendekatan-pendekatan demi Ukhuwah Islamiyah, lalu mengapa antara Syiah dan Sunni tidak dilakukan ?.
Oleh karena itu, disaat Muslimin bangun melawan serangan Syiah, mereka menjadi penonton dan tidak ikut berkiprah.
Apa yang mereka harapkan tersebut, tidak lain dikarenakan minimnya pengetahuan mereka mengenai aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Sehingga apa yang mereka sampaikan hanya terbatas pada apa yang mereka ketahui.
Semua itu dikarenakan kurangnya informasi pada mereka, akan hakikat ajaran Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah). Disamping kebiasaan berkomentar, sebelum memahami persoalan yang sebenarnya.
Sedangkan apa yang mereka kuasai, hanya bersumber dari tokoh-tokoh Syiah yang sering berkata bahwa perbedaan Sunni dengan Syiah seperti perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzahab Syafi’i.
Padahal perbedaan antara Madzhab Maliki dengan Madzhab Syafi’i, hanya dalam masalah Furu’iyah saja. Sedang perbedaan antara Ahlussunnah Waljamaah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah), maka perbedaan-perbedaannya disamping dalam Furuu’ juga dalam Ushuul.
Rukun Iman mereka berbeda dengan rukun Iman kita, rukun Islamnya juga berbeda, begitu pula kitab-kitab hadistnya juga berbeda, bahkan sesuai pengakuan sebagian besar ulama-ulama Syiah, bahwa Al-Qur'an mereka juga berbeda dengan Al-Qur'an kita (Ahlussunnah).
Apabila ada dari ulama mereka yang pura-pura (taqiyah) mengatakan bahwa Al-Qur'annya sama, maka dalam menafsirkan ayat-ayatnya sangat berbeda dan berlainan.
Sehingga tepatlah apabila ulama-ulama Ahlussunnah Waljamaah mengatakan : Bahwa Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) adalah satu agama tersendiri.
Melihat pentingnya persoalan tersebut, maka di bawah ini kami nukilkan sebagian dari perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dengan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).

1.      Ahlussunnah         : Rukun Islam kita ada 5 (lima)
a)      Syahadatain
b)      As-Sholah
c)      As-Shoum
d)      Az-Zakah
e)      Al-Haj
Syiah                     : Rukun Islam Syiah juga ada 5 (lima) tapi berbeda:
a)      As-Sholah
b)      As-Shoum
c)      Az-Zakah
d)      Al-Haj
e)      Al wilayah
 
2.      Ahlussunnah         : Rukun Iman ada 6 (enam) :
a)      Iman kepada Allah
b)      Iman kepada Malaikat-malaikat Nya
c)      Iman kepada Kitab-kitab Nya
d)      Iman kepada Rasul Nya
e)      Iman kepada Yaumil Akhir / hari kiamat
f)       Iman kepada Qadar, baik-buruknya dari Allah.
Syiah                     : Rukun Iman Syiah ada 5 (lima)*
a)      At-Tauhid
b)      An Nubuwwah
c)      Al Imamah
d)      Al Adlu
e)      Al Ma’ad

3.      Ahlussunnah         : Dua kalimat syahadat
Syiah                     : Tiga kalimat syahadat, disamping Asyhadu an Laailaha illallah, wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah, masih ditambah dengan menyebut dua belas imam-imam mereka.

4.      Ahlussunnah         : Percaya kepada imam-imam tidak termasuk rukun iman. Adapun jumlah imam-imam Ahlussunnah tidak terbatas. Selalu timbul imam-imam, sampai hari kiamat.
Karenanya membatasi imam-imam hanya dua belas (12) atau jumlah tertentu, tidak dibenarkan.
Syiah                     :  Percaya kepada dua belas imam-imam mereka, termasuk rukun iman. Karenanya orang-orang yang tidak beriman kepada dua belas imam-imam mereka (seperti orang-orang Sunni), maka menurut ajaran Syiah dianggap kafir dan akan masuk neraka.

5.      Ahlussunnah         : Khulafaurrosyidin yang diakui (sah) adalah :
a)      Abu Bakar
b)      Umar
c)      Utsman
d)      Ali Radhiallahu anhum
Syiah                     : Ketiga Khalifah (Abu Bakar, Umar, Utsman) tidak diakui oleh Syiah. Karena dianggap telah merampas kekhalifahan Ali bin Abi Thalib (padahal Imam Ali sendiri membai'at dan mengakui kekhalifahan mereka). 
6.      Ahlussunnah         : Khalifah (Imam) adalah manusia biasa, yang tidak mempunyai sifat Ma’shum.
Berarti mereka dapat berbuat salah/ dosa/ lupa. Karena sifat Ma’shum, hanya dimiliki oleh para Nabi.
Syiah                     : Para imam yang jumlahnya dua belas tersebut mempunyai sifat Ma'’hum, seperti para Nabi.

7.      Ahlussunnah         : Dilarang mencaci-maki para sahabat.
Syiah                     : Mencaci-maki para sahabat tidak apa-apa bahkan Syiah berkeyakinan, bahwa para sahabat setelah Rasulullah SAW wafat, mereka menjadi murtad dan tinggal beberapa orang saja. Alasannya karena para sahabat membai'at  Sayyidina Abu Bakar sebagai Khalifah.

8.      Ahlussunnah         :  Siti Aisyah istri Rasulullah sangat dihormati dan dicintai. Beliau adalah Ummul Mu’minin.
Syiah                     : Siti Aisyah dicaci-maki, difitnah, bahkan dikafirkan.

9.      Ahlussunnah         : Kitab-kitab hadits yang dipakai sandaran dan rujukan Ahlussunnah adalah Kutubussittah :
a)      Bukhari
b)      Muslim
c)      Abu Daud
d)      Turmudzi
e)      Ibnu Majah
f)       An Nasa’i
(kitab-kitab tersebut beredar dimana-mana dan dibaca oleh kaum Muslimin sedunia).
Syiah                     : Kitab-kitab Syiah ada empat :
a)      Al Kaafi
b)      Al Istibshor
c)      Man Laa Yah Dhuruhu Al Faqih
d)      Att Tahdziib
(Kitab-kitab tersebut tidak beredar, sebab kebohongannya takut diketahui oleh pengikut-pengikut Syiah). 

10.  Ahlussunnah         : Al-Qur'an tetap orisinil
Syiah                     : Al-Qur'an yang ada sekarang ini menurut pengakuan ulama Syiah tidak orisinil. Sudah dirubah oleh para sahabat (dikurangi dan ditambah).

11.  Ahlussunnah         : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang tidak taat kepada Allah dan Rasul Nya.
Syiah                     : Surga diperuntukkan bagi orang-orang yang cinta kepada Imam Ali, walaupun orang tersebut tidak taat kepada Rasulullah.
Neraka diperuntukkan bagi orang-orang yang memusuhi Imam Ali, walaupun orang tersebut taat kepada Rasulullah.

12.  Ahlussunnah         : Aqidah Raj’Ah tidak ada dalam ajaran Ahlussunnah. Raj’ah adalah besok diakhir zaman sebelum kiamat, manusia akan hidup kembali. Dimana saat itu Ahlul Bait akan balas dendam kepada musuh-musuhnya.
Syiah                     : Raj’ah adalah salah satu aqidah Syiah. Dimana diceritakan : bahwa nanti diakhir zaman, Imam Mahdi akan keluar dari persembunyiannya. Kemudian dia pergi ke Madinah untuk membangunkan Rasulullah, Imam Ali, Siti Fatimah serta Ahlul Bait yang lain.
Setelah mereka semuanya bai'at kepadanya, diapun selanjutnya membangunkan Abu Bakar, Umar, Aisyah. Kemudian ketiga orang tersebut disiksa dan disalib, sampai mati seterusnya diulang-ulang sampai  ribuan kali. Sebagai balasan atas perbuatan jahat mereka kepada Ahlul Bait.
Keterangan           : Orang Syiah mempunyai Imam Mahdi sendiri. Berlainan dengan Imam Mahdinya Ahlussunnah, yang akan membawa keadilan dan kedamaian.
13.  Ahlussunnah         : Mut’ah (kawin kontrak), sama dengan perbuatan zina dan hukumnya haram.
Syiah                     : Mut’ah sangat dianjurkan dan hukumnya halal. Halalnya Mut’ah ini dipakai oleh golongan Syiah untuk mempengaruhi para pemuda agar masuk Syiah. Padahal haramnya Mut’ah juga berlaku di zaman Khalifah Ali bin Abi Thalib.

14.  Ahlussunnah         : Khamer/ arak tidak suci.
Syiah                     : Khamer/ arak suci.

15.  Ahlussunnah         : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap tidak suci.
Syiah                     : Air yang telah dipakai istinja’ (cebok) dianggap suci dan mensucikan.

16.  Ahlussunnah         :  Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri hukumnya sunnah.
Syiah                     : Diwaktu shalat meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri membatalkan shalat.
(jadi shalatnya bangsa Indonesia yang diajarkan Wali Songo oleh orang-orang Syiah dihukum tidak sah/ batal, sebab meletakkan tangan kanan diatas tangan kiri).

17.  Ahlussunnah         : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat adalah sunnah.
Syiah                     : Mengucapkan Amin diakhir surat Al-Fatihah dalam shalat dianggap tidak sah/ batal shalatnya.
(Jadi shalatnya Muslimin di seluruh dunia dianggap tidak sah, karena mengucapkan Amin dalam shalatnya).

18.  Ahlussunnah         : Shalat jama’ diperbolehkan bagi orang yang bepergian dan bagi orang yang mempunyai udzur syar’i.
Syiah                     : Shalat jama’ diperbolehkan walaupun tanpa alasan apapun.

19.  Ahlussunnah         : Shalat Dhuha disunnahkan.
Syiah                     : Shalat Dhuha tidak dibenarkan.
(padahal semua Auliya’ dan salihin melakukan shalat Dhuha).
 
Demikian telah kami nukilkan perbedaan-perbedaan antara aqidah Ahlussunnah Waljamaah dan aqidah Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah).  Sengaja  kami  nukil  sedikit saja,  sebab apabila kami nukil
seluruhnya, maka akan memenuhi halaman-halaman buku ini.
Harapan kami semoga pembaca dapat memahami benar-benar perbedaan-perbedaan tersebut. Selanjutnya pembaca yang mengambil keputusan (sikap).
Masihkah mereka akan dipertahankan sebaga Muslimin dan Mukminin ? (walaupun dengan Muslimin berbeda segalanya).
Sebenarnya yang terpenting dari keterangan-keterangan diatas adalah agar masyarakat memahami benar-benar, bahwa perbedaan yang ada antara Ahlussunnah dengan Syiah Imamiyah Itsna Asyariyah (Ja’fariyah) itu, disamping dalam Furuu’ (cabang-cabang agama) juga dalam Ushuul (pokok/ dasar agama).
Apabila tokoh-tokoh Syiah sering mengaburkan perbedaan-perbedaan tersebut, serta memberikan keterangan yang tidak sebenarnya, maka hal tersebut dapat kita maklumi, sebab mereka itu sudah memahami benar-benar, bahwa Muslimin Indonesia tidak akan terpengaruh atau tertarik pada Syiah, terkecuali apabila disesatkan (ditipu).
Oleh karena itu, sebagian besar orang-orang yang masuk Syiah adalah orang-orang yang tersesat, yang tertipu oleh bujuk rayu tokoh-tokoh Syiah.
Akhirnya, setelah kami menyampaikan perbedaan-perbedaan antara Ahlussunnah dengan Syiah, maka dalam kesempatan ini kami menghimbau kepada Alim Ulama serta para tokoh masyarakat, untuk selalu memberikan penerangan kepada umat Islam mengenai kesesatan ajaran Syiah. Begitu pula untuk selalu menggalang persatuan sesama Ahlussunnah dalam menghadapi rongrongan yang datangnya dari golongan Syiah. Serta lebih waspada dalam memantau gerakan Syiah didaerahnya. Sehingga bahaya yang selalu mengancam persatuan dan kesatuan bangsa kita dapat teratasi.
Selanjutnya kami mengharap dari aparat pemerintahan untuk lebih peka dalam menangani masalah Syiah di Indonesia. Sebab bagaimanapun, kita tidak menghendaki apa yang sudah mereka lakukan, baik di dalam negri maupun di luar negri, terulang di negara kita.
Semoga Allah selalu melindungi kita dari penyesatan orang-orang Syiah dan aqidahnya. Amin.
Benarkah Syiah Mengikuti Ahlulbait?



Syiah selalu menukil hadits tsaqalain, demi menegaskan wajibnya mengikuti ahlulbait. Tapi apakah syiah konsekuen dengan ucapannya sendiri? Ini yang perlu kita teliti. Mengikuti Al Qur’an adalah dengan mengikuti perintah yang ada di dalamnya, dan menjauhi larangannya. Itulah mengikuti. Begitu juga dengan mengikuti ahlulbait, dengan mengikuti perintah mereka, dan menjauhi apa yang mereka larang.

Al Qur’an ada di depan kita, dapat kita baca setiap hari. Dengan mudah kita mengakses perintah dan larangan. Tetapi ahlulbait,  mereka telah pergi meninggalkan kita. 11 imam telah pergi menghadap Allah, sementara yang ke 12 malah pergi bersembunyi, meninggalkan tugasnya untuk menjaga syareat, meninggalkan fungsinya sebagai penerus Nabi Muhammad SAWW.  Bagaimana caranya mengakses perintah ahlulbait?

Kitab syiah memiliki kitab-kitab yang memuat riwayat dari para imam mereka. Dengan kitab-kitab itulah mereka bisa mengikuti ahlulbait.

Tentunya tidak semua riwayat bisa diterima begitu saja, tapi harus ada proses penelitian mengenai validitas perawi, apakah cacat atau valid. Dari situ bisa diketahui mana riwayat yang shahih maupun yang dhaif.

Jika sebuah riwayat dari seorang imam terbukti shahih, maka harus diikuti, karena riwayat itu memuat sabda imam yang maksum –menurut syiah-, imam yang terbebas dari salah dan lupa. Sabdanya memiliki kekuatan hukum yaitu wajib diikuti. Inilah inti hadits tsaqalain, yaitu perintah untuk mengikuti ahlulbait.

Tetapi apa yang terjadi?

Ketika sebuah riwayat shahih dari imam maksum menyelisihi pendapat ulama syiah, mereka mengambil pendapat ulama syiah dan meninggalkan riwayat dari imam maksum. Seolah-oleh yang maksum di sini adalah para ulama syiah, bukan 12 imam ahlulbait. Ahlulbait tidak lagi maksum ketika ada sabdanya yang menyelisihi ulama syiah.

Al Isytahardi menyatakan dalam Taqrirat Fi Ushulil Fiqh- Taqrir Bahts Al Burjuwardi, hal 296 :
Dari sini terkenal sebuah kaedah, bahwa ketika sebuah riwayat semakin shahih, maka derajatnya semakin dhaif dan meragukan ketika riwayat itu ditinggalkan oleh ulama kami, dan sebaliknya, ketika riwayat semakin dhaif tapi diamalkan oleh ulama kami, maka akan semakin kuat, seperti dalam masalah yang ditunjukkan…

Kesimpulannya, ucapan para imam ditentukan oleh sikap ulama syiah terhadap riwayat itu. Ketika sabda para imam menyelisihi keinginan ulama syiah, maka yang harus diikuti adalah keinginan ulama syiah, bukan lagi sabda imam ahlulbait. Apakah berarti ahlulbait sudah keluar dari tsaqalain yang harus diikuti, dan digantikan oleh ulama syiah?

Mirza Al Qummi dalam Ghana’imul Ayyam jilid 1 hal 414 menyatakan :

Riwayat-riwayat ini, ketika semakin banyak jumlah, sanad dan dilalahnya, ketika ditinggalkan oleh kebanyakan ulama kami, maka akan semakin bertambah dhaif (lemah), apalagi ketika para ulama malah mengamalkan hadits yang jumlahnya lebih sedikit, sanadnya dan dilalahnya lebih sedikit.

Sementara Sayyid Al Kalbaikani dalam Durr al Mandhud jilid 1 hal 330-331 mengatakan:

Tetapi pendapat yang dikenal dan digunakan oleh kebanyakan ulama, dan kami pun memegang pendapat itu, yaitu sebuah riwayat tidak lagi digunakan karena hal tadi, dan telah masyhur bahwa ketika hadits semakin shahih sanadnya, maka akan bertambah lemah karena tidak digunakan oleh kebanyakan ulama, semakin sebuah hadits lemah sanadnya, maka akan semakin kuat karena diamalkan oleh kebanyakan ulama

Dalam Kitab At Thaharah jilid 3 hal 597, Sayyid Al Khomeini menyatakan:
Mencegah kita untuk memaksakan pendapat karena terpesona oleh riwayat yang shahih lagi banyak, dalam konteks ini dikatakan: semakin riwayat itu banyak dan shahih, maka semakin lemah

Dalam Muntahal Ushul  jilid 2 hal 154, Hasan bin Ali Asghar Al Musawi Al Bajnawardi menyatakan:

Dan begitu juga, ketika ulama mengabaikan dan tidak mengamalkan riwayat, maka ini membuat dalil itu tidak lagi dijadikan hujjah, meski riwayat itu shahih, sampai ulama syiah mengatakan : semakin riwayat itu shahih, maka semakin lemah, inilah maksud ucapan para ulama: ketika ulama meninggalkan sebuah riwayat, itu membuat sanad riwayat itu tidak dipercaya, dan mematahkan riwayat itu, meski riwayat itu sanadnya kuat.

Begitu pula dalam Al Yanabi’ Al Fiqhiyyah jilid 35 hal 441, Ali Asghar Marwarid mengatakan :
Al Murtadha mengatakan : riwayat ini shahih, tetapi ketenaran itu sendiri adalah riwayat dan fatwa, bahkan ijma’ pun menentang riwayat itu.

Lalu apa lagi gunanya adalah penelitian hadits, jika hadits yang shahih bisa digugurkan oleh ulama?

Sebenarnya siapa yang menjadi panutan syiah? Imam maksum atau ulama syiah yang tidak maksum?

Apa gunanya imam maksum jika ucapannya dapat digugurkan oleh ulama-ulama syiah yang tidak maksum?

Syiah selalu berdalil dengan hadits tsaqalain, namun di saat yang sama syiah membuangnya jauh-jauh.

Biografi Ust. Husein Al-Habsyi

 
Ust Husein Al-Habsyi pendiri YAPI
Ustadz Husein Al-Habsyi lahir di Surabaya pada tanggal, 21 April 1921 M. Pada usia yang masih belia  beliau sudah harus erjuang sendiri karena wafatnya orang tuanya. Adapun Ayah beliau, Sayid Abu Bakar Al-Habsyi yang mempunyai garis keturunan dengan Sayid Ali Al-‘Uraidy putra Imam Ja’far Shodiq a.s. Selanjutnya beliau  diasuh, dididik dan ditempa oleh pamannya yang ‘Alim dan wara’, yakni Ustadz Muhammad Baraja’. Dan dari sinilah kemudian ilmu dan wawasanya berkembang.
Berawal dari pendidikan  dasar di Madrasah Al-Khairiyah; sebuah lembaga pendidikan  diniah tertua di Surabaya. Pada umurnya 10 tahun beliau sudah aktif mengikuti pengajian rutin yang membahas masalah-masalah fiqih, tauhid dan lainnya. kemudian pada usia 12  tahun beliau sudah mampu membaca kitab-kitab Berbahasa Arab.
Setelah lulus akhirnya mengajar di madrasah Al-Khoiriyah, bersama kakaknya, Ustaz Ali Al-Habsyi yang kemudian bersama-sama hijrah ke Pinang Malaysia. Beliau juga pernah berguru kepada;Ustadz Abdul Qadir Balfaqih  (seorang ulama besar dan ahli hadis), Syeh Muhammad Robah Hassuna (seorang ulama dari Qolili, Palestina yang berkhidmat mengajar di madrasah Al Khairiyah), Al-Habib Alwi bin Thahir Al-Haddad (seorang ulama besar dan terkenal dengan analisa-analisa yang sangat dalam, beliau adalah mufti kerajaan Johor Baru, Malaysia dimasanya), Assayid Muhammad Muntasir Al-Kattani (Ulama’ Maghribi, Maroko) dll.
Di Johor  beliau juga mengajar di madrasah Al –Aththas dalam kurun waktu yang cukup lama, sehingga murid beliau banyak tarsebar di berbagai daerah di Malaysia, dan tidak sedikit pula yang di kemudian hari menjadi ulama dan tokoh penting negeri jiran tersebut .  
Setelah beberapa lama tinggal di Malaysia beliau menikah dengan putri pamannya yang bernama Fatimah binti Abdurrahman Al-Habsyi , dan setelah dikaruniahi beberapa putra karena terjadi berbagai peristiwa politik semasa penjajahan Inggris atas semenanjung Malaysia akhirnya dengat sangat terpaksa beliau meninggalkan negeri tersebut dan kembali ke kampung halamannya di Surabaya .
Sepulang dari Malaysia, Ustadz Husein Al-Habsyi memulai aktifitas dakwah dan banyak berkecimpung di dunia politik. Dalam menapaki jenjang karirnya, beliau sempat menduduki kepengurusan teras bersama DR. M. Natsir dalam Partai Syuro Muslimin Indonesia. Bahkan beliau terpilih sebagai Ketua Komisi  Hak Asasi Manusia.
Sekian lama setelah beliau tidak aktif dalam partai, Ustadz Husein mulai berfikir bahwa perjuangan Islam lebih “absah” melalui pendidikan agama bukan “politik praktis”. Dalam pikirannya terbersit keinginan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan Islam.
Sikap beliau yang anti “Barat” dan “Sekularisme” mendorongnya untuk menerapkan sistem pendidikan  dan peraturan yang sangat ketat bagi santri. Ustadz Husein semakin mantap dengan metode pendidikan yang   diterapkan.
Pada tahun 1971 beliau mendirikan Pondok Pesantren di kota Bondowoso Jatim. Keberadaan beliau di Bondowoso sangat menguntungkan bagi perkembangan pendidikan masyarakat di sekitarnya, karena sebagai orator ulung dan ulama’, beliau mampu menjelaskan ajaran Islam dengan baik dan memikat pendengarnya.  Setelah dari Bondowoso, karena berbagai hal, akhirnya  beliau hijrah dan mendirikan  Yayasan Pesantren Islam ( YAPI ) Bangil. Kemudian perkembangan demi perkembangan - disamping karena bertambahnya murid yang cukup banyak - akhirmya  membuka Pesantren-Putra di Kenep-Beji, Pesantren-Putri dan TK di Kota Bangil.  
Dari kehidupan beliau, hampir seluruh Waktu, tenaga dan pikirannya beliau tercurah untuk kemajuan para santri. Selain mengawasi jalannya seluruh perkembangan yang terjadi di Pesantren, beliau juga terjun langsung   ke bawah mengajar para santri dalam berbagai disiplin ilmu seperti; Bahasa Arab, Ushul Fiqh, Tafsir, Tauiyah dan lain-lain, sehingga metodenya mampu membuahkan hasil yang luar biasa bagi anak didiknya. Hal tersebut juga terlihat dari alumni-alumni yang mampu tampil sebagai tokoh masyarakat di daerahnya masing-masing. Selain  mereka juga dapat dengan mudah melanjutkan pendidikan di berbagai pendidikan tinggi di luar negeri seperti; Mesir, Pakistan, India, Qatar, Saudi Arabiyah dan negara-negara timur tengah lainnya.
Dalam ceramahnya ustadz Husein Al-Habsyi; baik di hadapan santri maupun di hadapan kaum muslimin  dalam mimbar Jum’at, Idlul Fitri, Idul Adha dan kesempatan-kesempatan lain selalu menekankan akan pentingnya persatuan kaum muslimin, toleransi antar madzhab, memberikan kebebasan berfikir (khususnya bagi para santrinya), sehingga mereka tidak mudah dikotak-kotakkan oleh faham-faham/ aliran-aliran yang sempit.
Dengan aplikasi gagasan-gagasannya, beliau telah mampu menciptakan era baru dalam pemikiran kaum muslimin yang lebih mengedepankan kepentingan-kepentingan Islam di atas kepentingan-kepentingan madzhab atau kelompok. Hal ini terbukti sebagaimana buah hasil didikan beliau pada santri-santrinya yang sekarang tersebar di berbagai belahan bumi Nusantara. Di mana mereka menjadi motor keterbukaan pemikiran dan asatidzah lintas madzhab yang tidak dipersempit oleh pemikiran tertentu yang cupet.
Untuk tujuan yang sama juga, Ustadz Husein Al-Habsyi telah meluangkan waktu-waktunya yang sangat padat dan berharga, untuk mengadakan safari da’wah, menyisir daerah-daerah terpencil kaum muslimin seperti Sorong, pedalaman Ambon, beberapa daerah di Kalimantan, Sulawesi dan Sumatera, bahkan di masa  akhir hayatnya beliau juga menyempatkan pergi ke  negeri Jiran demi meniupkan ruh keterbukaan dan semangat da’wah Islam.
Beliau juga seringkali menghadiri berbagai seminar dan konfrensi- baik di dalam maupun di luar negeri - membahas berbagai masalah fondamentaldan urgen umat Islam seperti seminar pendekatan Sunnah – Syi’ah di Kuala Lumpur Malaysia dll. Dan demi menegakkan dakwah Islam, tidak jarang beliau menghadapi berbagai gangguan, teror dan kesulitan-kesulitan yang dilakukan baik oleh kalangan ulama’ yang sempit wawasanya, kaum awam yang terprofokasi oleh isu-isu menyesatkan maupun oleh penguasa.
Fitnah demi fitnah dilontarkan oleh pihak-pihak yang tidak menyukai beliau dan misi Islam yang sedang beliau perjuangkan. Sehingga tidak jarang beliau harus berhadapan dengan penguasa pada zaman itu sampai dijebloskan ke dalam penjara. Namun semua itu beliau hadapi dengan penuh kesabaran, ketabahan dan ruh tawakkal yang luar biasa.
Bahkan dengan lapang dada dan hati yang tulus, beliau memaafkan mereka yang karena kejahilan dan ketidaktahuan akan misi Islam yang murni melah melakukan hal-hal yang menyulitkan dan menggangu beliau.
Pemakaman Ust. Husein Al-Habysi
Setelah beliau berpuluh-puluh tahun mengabdikan diri demi Islam dalam dunia pendidikan dan dakwah, beliau memenuhi panggilan Ilahi ke alam Baqa’ pada  hari Jum’at 2 Sya’ban 1414/ 14 Januari 1994  dirumah beliau Jl. Lumba-lumba Bangil. 
Sementara itu ribuan para pentakziah larut dalam duka dan dengan khusyu’ turut mengiringi jenazah beliau   dari rumah duka ke Masjid Jamik Bangil untuk di shalatkan , kemudian menghantar ke pemakaman.
Dan beliau dimakamkan  pada hari Sabtu 3 Sya’ban 1414/15 Januari 1994 di belakang Masjid Tsaqalain yang terletak di komplek Pesantren Putra “Al-Ma’hadul Islami” YAPI, Desa Kenep Beji Pasuruan.
Semoga Allah merahmati dan mengumpulkan beliau bersama orang-orang suci yang beliau cintai, Amin
 

percusion

Percussion instrument

From Wikipedia, the free encyclopedia
Jump to: navigation, search
A percussion instrument is any object which produces a sound when hit with an implement, shaken, rubbed, scraped, or by any other action which sets the object into vibration. The term usually applies to an object used in a rhythmic context or with musical intent.
The word "percussion" has evolved from Latin terms: "percussio" (which translates as "to beat, strike" in the musical sense, rather than the violent action), and "percussus" (which is a noun meaning "a beating"). As a noun in contemporary English it is described in Wiktionary as "the collision of two bodies to produce a sound". The usage of the term is not unique to music but has application in medicine and weaponry, as in percussion cap, but all known and common uses of the word, "percussion", appear to share a similar lineage beginning with the original Latin: "percussus". In a musical context then, the term "percussion instruments" may have been coined originally to describe a family of instruments including drums, rattles, metal plates, or wooden blocks which musicians would beat or strike (as in a collision) to produce sound.

Percussion beaters and sticks

Contents

[hide]

[edit] History


Percussive surface in a resonant chamber. A cave painting of human hands surrounded by red markings - early percussion instrument.
Anthropologists and historians often speculate that percussion instruments were the first musical devices ever created. The human voice was probably the first musical instrument, but percussion instruments such as hands and feet, then sticks, rocks, and logs were almost certainly the next steps in the evolution of music.
Many caves in France, near Caberets and Grotte du Pech Merle, are believed to have been inhabited by early human communities. In those caves, anthropologists have observed red dots which appear in most places where other carvings/paintings appear. It is believed that the dots/markings were formed by people who would tap or hammer those parts of the rock which have obvious acoustic significance; tapping those particular places causes tones which resonate throughout the cavern (like the echo of voices in a giant cathedral or drums in a large hall).[1] This may be proof that humans were aware of the acoustic properties of percussion instruments and resonating chambers as early as 25,000 years ago; though much speculation suggests that humans likely used percussion instruments long before that.
As humans developed tools for hunting and eventually agriculture, their skill and technology enabled them to craft more complex instruments. For example, a simple log may have been carved to produce louder tones (a log drum) and instruments may have been combined to produce multiple tones (as in a 'set' of log drums).

[edit] Classifications

Percussion instruments are classified by various criteria sometimes depending on their construction, ethnic origin, function within musical theory and orchestration, or their relative prevalence in common knowledge.
Percussion instruments are sometimes classified as "pitched" or "unpitched." While valid, this classification is widely seen as inadequate. Rather, it may be more informative to describe percussion instruments in regards to one or more of the following four paradigms:

[edit] By methods of sound production

Many texts, including Teaching Percussion by Gary Cook of the University of Arizona, begin by studying the physical characteristics of instruments and the methods by which they can produce sound. This is perhaps the most scientifically pleasing assignment of nomenclature whereas the other paradigms are more dependent on historical or social circumstances. Based on observation and experimentation, one can determine how an instrument produces sound and then assign the instrument to one of the following four categories:

[edit] Idiophone

"Idiophones produce sounds through the vibration of their entire body."[2] Examples of idiophones:

[edit] Membranophone

Most objects commonly known as "drums" are membranophones. "Membranophones produce sound when the membrane or head is struck."[2]
Examples of membranophones:
  • The lion's roar and the cuíca, which are not struck like other drums, produce sound by drawing a string or stick through an opening in the membrane. The lion's roar is sometimes classified as a chordophone, but this is inaccurate because the membrane produces the sound, not the string.
  • Wind machines: A wind machine in this context is not a wind tunnel and therefore not an aerophone. Instead, it is an apparatus (often used in theatre as a sound effect) in which a sheet of canvas (a membrane) is rubbed against a screen or resonator; this action produces a sound which resembles the blowing of wind.

[edit] Chordophone

Most instruments known as "chordophones" are defined as string instruments, but some such as these examples are percussion instruments also.

[edit] Aerophone

Most instruments known as "aerophones" are defined as wind instruments such as a saxophone whereby sound is produced by a person or thing blowing air through the object. Examples of aerophones played by percussionists:

[edit] By musical function or orchestration

When classifying instruments by function it is useful to note if a percussion instrument makes a definite pitch or indefinite pitch.
For example, some percussion instruments (such as the marimba and timpani) produce an obvious fundamental pitch and can therefore play melody and serve harmonic functions in music. Other instruments (such as crash cymbals and snare drums) produce sounds with such complex overtones and a wide range of prominent frequencies that no pitch is discernible.

[edit] Definite pitch

Percussion instruments in this group are sometimes referred to as "pitched" or "tuned".
Examples of percussion instruments with definite pitch:

[edit] Indefinite pitch

Instruments in this group are sometimes referred to as "non-pitched", "unpitched", or "untuned". This phenomenon occurs when the resultant sound of the instrument contains complex frequencies through which no discernible pitch can be heard.
Examples of percussion instruments with indefinite pitch:

[edit] By prevalence in common knowledge

Although it is difficult to define what is "common knowledge", there are instruments in use by percussionists and composers in contemporary music which are certainly not considered by most to be musical instruments of any kind. Therefore, it is worthwhile to try to make distinction between instruments based on their acceptance or consideration by a general audience.
For example, it is safe to argue that most people would not consider an anvil, a brake drum (the circular hub which houses the brake on the wheel of a motor vehicle), or a fifty-five gallon oil barrel to be musical instruments, yet these objects are used regularly by composers and percussionists of modern music.
One might assign various percussion instruments to one of the following categories:

[edit] Conventional or popular

[edit] Unconventional

(Sometimes referred to as "found" instruments)
  • Brooms
  • Clay pots
  • Five gallon buckets
  • Garbage cans
  • Metal pipes
  • Plastic bag
  • Shopping carts
  • Spokes on a bicycle wheel
  • Rocks in a bucket
  • Beer kegs
  • Automobile Brake Drum
John Cage, Harry Partch, Edgard Varèse, and Peter Schickele, all noted composers, created entire pieces of music using unconventional instruments. Beginning in the early 20th century, perhaps with Ionisation by Edgard Varèse which used air-raid sirens (among other things), composers began to require percussionists to invent or "find" objects to produce the desired sounds and textures. Another example includes the use of a hammer and saw in Penderecki's De Natura Sonoris No. 2. By late 20th century, such instruments had become common in modern percussion ensemble music and popular productions, such as the off-Broadway show, Stomp.

[edit] By cultural significance or tradition

It is not uncommon to discuss percussion instruments in relation to their cultural origin. This has led to a division between instruments which are considered "common" or "modern," and folk instruments which have a significant history or purpose within a geographic region or cultural group.

[edit] Folk percussion instruments


Some percussion instruments

Ancient Chinese musical bronze bells from the Eastern Zhou Dynasty, c. 6th century BC.

[edit] "Common" drums

This category includes instruments which are widely available and popular throughout the world:

[edit] Function

Percussion instruments play not only rhythm, but also melody and harmony.
Percussion is commonly referred to as "the backbone" or "the heartbeat" of a musical ensemble, often working in close collaboration with bass instruments, when present. In jazz and other popular music ensembles, the bassist and the drummer are often referred to as the rhythm section. Most classical pieces written for full orchestra since the time of Haydn and Mozart are orchestrated to place emphasis on the strings, woodwinds, and brass. However, often at least one pair of timpani is included, though they rarely play continuously. Rather, they serve to provide additional accents when needed. In the eighteenth and nineteenth centuries, other percussion instruments (like the triangle or cymbals) have been used, again relatively sparingly in general. The use of percussion instruments became more frequent in the twentieth century classical music.
In almost every style of music, percussion plays a pivotal role. In military marching bands and pipes and drums, it is the beat of the bass drum that keeps the soldiers in step and at a regular speed, and it is the snare that provides that crisp, decisive air to the tune of a regiment. In classic jazz, one almost immediately thinks of the distinctive rhythm of the hi-hats or the ride cymbal when the word "swing" is spoken. In more recent popular music culture, it is almost impossible to name three or four rock, hip-hop, rap, funk or even soul charts or songs that do not have some sort of percussive beat keeping the tune in time.
Because of the diversity of percussive instruments, it is not uncommon to find large musical ensembles composed entirely of percussion. Rhythm, melody, and harmony are all represented in these ensembles.

[edit] Percussion notation

Music for pitched percussion instruments can be notated on a staff with the same treble and bass clefs used by many non-percussive instruments. Music for percussive instruments without a definite pitch can be notated with a specialist rhythm or percussion-clef; More often a treble clef (or sometimes a bass clef) is substituted for rhythm clef.

[edit] Names for percussionists

The general term for a musician who plays percussion instruments is "percussionist" but the terms listed below are often used to describe a person's specialties:

[edit] See also