
Komposisi musik kedua
bertemakan ”Basa
h”
yang menceritakan tentang anak berusia 6 tahun yang bermandi air hujan dengan
penuh kegembiraan. Tanpa prasangka, tanpa tendensi. Bermain di bawah hujan untuk
menikmati dunia bermain itu sendiri, tidak yang lain. Dua biola mengalun seperti
hembusan angin sejuk sebagai awal turunnya hujan yang dinantikan si anak kecil.
Ramuan bunyi musik lainnya seperti gerimis yang jatuh perlahan dan bertahap
menjadi hujan deras dan hentak-hentak yang sangat kerap dan membuncah. Klimaks
adalah hentakan keras dari semua bunyi yang dihasilkan oleh semua alat musik.
Demikianlah ”Basah” yang disuguhkan MN Sambel sebagai awalan pertunjukan musik
di Tembi Rumah Budaya dalam rangka Asiatri Jogja Festival di hari kedua.


Dinamisasi derap-derap musik
djembe mau tidak mau memang mengingatkan orang akan dunia ke-Afrikaan. Dunia
kegembiraan, kebersamaan. Sensasi dent
am
djembe membuat orang sepertti tiadk sadarkan diri (trance) sehingga dalam
beberapa kejap realitas seperti terlupakan. Tempo dari djembe yang terus
bergetar seperti berdaya hipnotis. Djembe Merdeka seperti ingin menunjukkan
bahwa hati mereka memang telah menyatu dengan djembe.

Daya hipnotik musik djembe juga
ditampilkan oleh Payon Percusion yang tidak saja menampilkan empat buah djembe,
tetapi juga dua perangkat kenong dan kecer, drum, kentongan, icik-icik, kendang,
bass (dari bambu), calung, ditambah penampilan yang atraktif menjadikan
penampilan Payon Percusion seperti mendekatkan jarak dengan penonton. Penonton
pun tersihir untuk menggoyang-goyangkan leher, kaki, atau pantatnya.
Di
namika
yang hingar bingar, permainan nada bass, tone, dan slap dari djembe yang
dihasilkan oleh empat orang pemain djembe yang dimixing dengan kecer, bonang,
kendang, drum, bass, dan calung kian mengkayakan varian tempo djembe. Ajakan
untuk berdiri dan bergoyang pun disambut penonton dengan antusias. Lenyap sudah
jarak antara pemain dan penonton. Semua bergoyang, berjingkrak dalam kebersamaan
dan kegembiraan. Selesaikah pertunjukan itu ? Belum !

Ketika penampilan Payon
Percusion selesai dan mereka mulai turun panggung secara tiba-tiba ada bunyi
musik perkusi lain terdengar dari jalan di depan Pendapa Tembi. Mereka masuk ke
panggung. Ternyata mereka adalah kelompok musik jalanan Malioboro yang juga
mendasarkan permainan dasar musiknya pada jenis perkusi. Ada dua drum sederhana
yang dibuat dari drum plastik bekas yang menghasilkan nada bass. Ada drum dan
cymbal kecil yang mengasilkan nada tone d
an
slap. Ada angklung yang ditata sedemikian rupa sehingga angklung dapat dimainkan
dengan tempo yang sangat cepat. Angklung lebih difungsikan sebagai melodi. Ada
pula calung dan icik-icik yang melengkapi komposisi bunyi musik jalanan ini.

Tidak kalah sensasionalnya.
Lebih mengasyikkan lagi musik mereka bisa juga digunakan untuk mengiringi
lagu-lagu dangdut atau pop. Jarak antara pemain dan penonton punah sudah. Semua
bermusik dan berjingkrak bersama. Membaur dalam kebersamaan dan kegembiraan.
Semua peserta Asiatri baik dari Jepang, Indonesia, Chili, Venezuela, dan
penonton umum membaur menjadi satu dalam suka cita. Realitas hidup terlupa dalam
rentang waktu sejenak. Di sinilah komunikasi dengan media kebudayaan terjalin.
Jarak kebangsaan, ras, golongan, kelompok tidak ada lagi. Asiatri menjadi salah
satu media yang cukup efektif untuk saling mengerti dan memahami orang lain dari
belahan dunia yang lain.
No comments:
Post a Comment